Kenapa Banyak Gen Z Cepat Dipecat? Masalah Attitude atau Salah Asuhan?
- hafiz dio
- 30 Apr
- 4 menit membaca

Generasi Z—mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012—saat ini mulai mendominasi dunia kerja. Namun, tidak sedikit dari mereka yang mengalami pemecatan dalam waktu singkat setelah bergabung dengan perusahaan. Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang cukup kontroversial: apakah ini disebabkan oleh sikap Gen Z sendiri, ataukah ada faktor lain yang berperan? Apakah kita sedang menyaksikan generasi yang tak punya prinsip kerja, atau justru hasil dari sistem manajemen yang gagal beradaptasi dengan zaman?
Fenomena ini bukan sekadar kabar burung. Laporan dari berbagai media menunjukkan bahwa banyak perusahaan merasa kesulitan menangani perilaku kerja Gen Z. Mulai dari kurangnya etika kerja, absensi tanpa alasan jelas, hingga kecenderungan untuk keluar masuk kerja dalam hitungan bulan. Di sisi lain, Gen Z justru merasa lingkungan kerja saat ini tidak ramah, terlalu kaku, dan kurang menghargai kesehatan mental serta keseimbangan hidup.
Itulah yang akan dibahas pada artikel Veltica Academy dengan judul "Kenapa Banyak Gen Z Cepat Dipecat? Masalah Attitude atau Salah Asuhan?" silahkan dicermati lebih lanjut.
Stereotip Negatif yang Melekat pada Gen Z
Tak dapat dimungkiri, banyak stereotip negatif yang dilekatkan pada Gen Z. Dalam laporan IDN Times, sejumlah HR menyebut Gen Z mudah bosan, kurang sopan, tidak tahan tekanan, dan sulit diberi tanggung jawab besar. Bahkan dalam artikel CNBC Indonesia, disebutkan ada kasus pemecatan karena alasan "kerja tidak produktif" karena terlalu sibuk main game saat jam kantor. Di artikel BBC Indonesia, ada pula bahasan soal bagaimana Gen Z dianggap terlalu menuntut fleksibilitas dan cepat menyerah jika ekspektasinya tak dipenuhi.
Namun pertanyaannya: benarkah semua itu cerminan nyata dari karakter generasi ini, ataukah ini hanya bias generasi yang belum mampu memahami dinamika baru di dunia kerja?
Dijelaskan bahwa sebagian Gen Z tumbuh dengan paparan digital yang intens dan dididik dalam sistem pendidikan yang menekankan pencapaian individual. Mereka punya ekspektasi yang tinggi terhadap makna pekerjaan, fleksibilitas, dan pengakuan. Sayangnya, dunia kerja masih banyak yang belum siap untuk mengakomodasi harapan ini.
Perusahaan Juga Tidak Sepenuhnya Benar

Tak adil jika hanya menyalahkan Gen Z. Fenomena "pura-pura sibuk" yang muncul di kalangan pekerja muda sebenarnya adalah respons terhadap budaya kerja yang mengukur kontribusi hanya dari kehadiran fisik dan jam kerja panjang. Banyak dari mereka merasa kontribusinya tidak dinilai secara objektif, melainkan hanya dari seberapa lama mereka duduk di depan layar atau hadir di kantor.
Hal ini mencerminkan krisis kepercayaan yang lebih dalam: perusahaan tidak percaya bahwa karyawannya bisa produktif tanpa pengawasan langsung, sementara karyawan muda merasa tidak dipercaya dan akhirnya menciptakan ilusi produktivitas demi mempertahankan posisi mereka. Ini adalah bentuk ketidakcocokan antara nilai yang dibawa Gen Z—seperti transparansi, efisiensi, dan keseimbangan hidup—dengan sistem yang masih mengutamakan simbol-simbol kehadiran.
Di sisi lain, banyak manajer dan atasan belum meng-upgrade gaya kepemimpinannya. Mereka menggunakan pendekatan lama untuk generasi baru. Pendekatan instruksi satu arah, kontrol ketat, serta ekspektasi akan loyalitas tanpa syarat, adalah warisan gaya manajemen era sebelumnya. Ketika pendekatan seperti ini diterapkan ke Gen Z—yang tumbuh di era dialog terbuka, kebebasan berekspresi, dan ekspektasi akan kepemimpinan yang suportif—gesekan pun tak terhindarkan.
Alih-alih bersikap adaptif, sebagian atasan justru merespons dengan resistensi. Mereka menganggap tuntutan Gen Z sebagai bentuk pembangkangan atau ketidaksopanan. Padahal, yang diinginkan oleh Gen Z adalah ruang untuk berkontribusi secara otentik dan kesempatan untuk berkembang, bukan sekadar menerima perintah tanpa konteks. Perusahaan yang gagal membaca perubahan ini, lambat laun akan ditinggalkan talenta-talenta terbaik dari generasi ini.
Antara Budaya Kerja Toksik dan Budaya Kerja Fleksibel
Tak jarang Gen Z dikritik karena dianggap terlalu memilih-milih pekerjaan, ingin bekerja remote, atau sering berpindah-pindah pekerjaan dalam waktu singkat. Banyak orang melihat sikap ini sebagai tanda ketidaksetiaan atau kurangnya komitmen terhadap pekerjaan. Namun, apabila kita melihatnya dari perspektif yang lebih luas, bisa jadi ada alasan yang lebih mendalam mengapa Gen Z memiliki pandangan seperti itu. Apakah budaya kerja yang ada sekarang benar-benar sehat untuk karyawan, atau justru ada masalah yang lebih besar yang perlu diperbaiki?
Dalam artikel Gramedia.com disebutkan bahwa Gen Z sangat peka terhadap masalah kesehatan mental, burnout, dan toxic culture. Mereka lebih sadar akan pentingnya keseimbangan hidup, dan tidak takut untuk menyuarakan hal-hal yang selama ini dianggap tabu di dunia kerja. Misalnya, mereka lebih terbuka dalam menolak jam lembur yang tidak dibayar, atau meminta evaluasi kinerja yang lebih objektif dan transparan. Bagi mereka, bekerja bukan hanya soal gaji atau jabatan, tetapi juga soal bagaimana mereka dihargai, bagaimana lingkungan kerja mendukung kesehatan mental mereka, dan sejauh mana perusahaan peduli dengan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Namun, di sisi lain, banyak perusahaan yang masih mempertahankan budaya kerja lama yang mengutamakan jam kerja panjang dan kehadiran fisik. Banyak tempat kerja yang menganggap bahwa jam kerja yang lebih lama adalah tanda dedikasi, padahal itu hanya meningkatkan tingkat kelelahan dan burnout. Ketika seorang karyawan Gen Z menolak lembur berlebihan atau meminta jadwal kerja yang lebih fleksibel, perusahaan malah menganggapnya sebagai bentuk ketidaksetiaan atau kekurangan inisiatif.
Tidak jarang juga, mereka dipandang sebagai individu yang "sulit diatur" hanya karena mereka ingin tahu lebih banyak tentang peran mereka, meminta kejelasan dalam tugas, atau berharap ada kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan atasan mengenai perkembangan karier mereka. Pada kenyataannya, Gen Z sangat menghargai transparansi dan komunikasi yang terbuka di tempat kerja. Mereka ingin tahu bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi terhadap tujuan perusahaan dan bagaimana mereka bisa terus berkembang. Ini adalah bentuk dari keinginan untuk merasa terhubung dan berharga dalam ekosistem kerja yang lebih luas.
Karena ini, banyak perusahaan yang masih menganggap keinginan ini sebagai sikap yang tidak realistis atau bahkan "manja". Mereka kurang siap menghadapi perubahan pola pikir dan ekspektasi yang datang dari generasi yang lebih muda ini. Akibatnya, ketegangan ini menciptakan konflik yang tidak perlu, di mana Gen Z merasa tidak dipahami dan tidak dihargai, sementara perusahaan merasa bahwa mereka tidak bisa mengontrol generasi ini.
Solusi: Membangun Jembatan, Bukan Tembok

Solusinya bukan saling menyalahkan. Yang dibutuhkan adalah dialog lintas generasi yang jujur dan terbuka. Perusahaan perlu memperbarui pendekatan manajerialnya, membekali para leader dengan keterampilan komunikasi lintas generasi, dan menciptakan budaya kerja yang adaptif. Di sisi lain, Gen Z juga perlu mengembangkan sikap profesional, kemampuan coping stress, dan etika kerja yang kuat.
Mau tahu lebih banyak tentang stereotip dan realita Gen Z di tempat kerja?
Atau ingin berbagi cerita dan solusi bersama para ahli dan generasi lain? Jangan lewatkan Fireside Chat Vol. 1 dari Veltica Academy! Acara ini GRATIS dan terbuka untuk semua yang ingin membangun pemahaman lintas generasi dengan cara yang santai dan menyenangkan.
🗓️ Kamis, 22 Mei 2025
🕒 Jam: 15.00 – 16.30 WIB📍
Harga: FREE!!!
Tempat: Live via Zoom👉
Comentarios